Rabu, 14 Juni 2017

Dibalik Tragedi Gunung Slamet 2001

Tetap saja, kenangan sedih masih membayangi, dan kadang-kadang melintas lewat bagaikan kabut yang sedang melayang, menahan sinar matahari dan mendinginkan kenangan akan saat-saat yang lebih bahagia. Ada kebahagiaan-kebahagiaan yang terlalu besar untuk diungkapkan dengan kata-kata, dan ada kesedihan-kesedihan yang tidak berani kupikirkan.  Sambil memikirkan itu semua,saya berkata : Mendakilah jika kamu ingin, tetapi ingat bahwa keberanian dan kekuatan tidak ada artinya tanpa kebijaksanaan, dan kecerobohan dalam sekejap bisa menghancurkan kebahagiaan seumur hidup.  Jangan melakukan apapun secara terburu-buru; cermati setiap langkah; dan sejak awal, pikirkan hal yang akhirnya mungkin terjadi – Edward Whymper - ========================================================================== Tragedi pada kegiatan pendakian bukanlah hal yang mustahil terjadi, karena sudah melekat pada kegiatan yang memiliki resiko sangat tinggi ini.

Mulai dari tersesat, kehabisan bekal, menurunnya tingkat kesehatan pendaki akibat energi yang terkuras, jatuh dari ketinggian, dan yang paling fatal adalah kehilangan nyawa.  Akan tetapi, seringnya tragedi pendakian yang bahkan berujung pada hilangnya nyawa sekian banyak pendaki tidak mampu menyurutkan para pendaki untuk tetap menggapai puncak-puncak yang memiliki lingkungan ekstrim – setidaknya dibandingkan dengan tempat keseharian hidup mereka.

Minimnya oksigen, rendahnya suhu yang menggigit tulang, hujan badai, medan terjal dan berbagai hambatan lain tetap menjadi pilihan utama untuk menyalurkan adrenalin yang berlebih, membuang kepedihan hati akibat ketidakpuasan atas perkembangan sosial terkini. Saya bukan seorang pendaki yang memiliki jam terbang di alam bebas yang bagus, karena jika dihitung maka pendakian yang saya lakukan sangat sedikit jika dibandingkan dengan para pendaki kebanyakan.

Akan tetapi, bukan serta merta saya tidak mengalami berhadapan dengan tragedi pendakian – atau lebih tepatnya lagi hampir masuk menjadi bagian tragedi. Pada Pebruari 2001, kelompok pendaki di Purwokerto dan sekitarnya disibukkan dengan kegiatan pencarian pendaki dari UGM yang jumlahnya tidak tanggung-tanggung.  Lebih dari 25 orang dari 4 kelompok pendakian terjebak badai di atas puncak Slamet tanpa bisa turun ke Plawangan Bambangan.

Satu orang berhasil turun dengan perjuangan yang sangat menguras tenaga dan mental, melalui kawasan Gunung Malang yang penuh dengan lorong jebakan bentukan alam, untuk mengabarkan kepada masyarakat umum tentang keberadaan mereka.  Sebagian besar berhasil dievakuasi dengan selamat, dan menyisakan 5 orang pendaki tewas di tempat yang terpisah-pisah dalam upaya mereka mencari jalan turun.

Yang menyedihkan sekaligus membuat saya sangat bersyukur adalah bahwa kelima pendaki yang tewas tersebut adalah pendaki yang menempuh jalur Kaliwadas, kemudian melipir bibir kawah di puncak Gunung Slamet untuk turun melalui jalur Bambangan, tepat satu hari di belakang tim kelompok pendaki di mana saya berada di dalamnya dengan skenario perjalanan yang sama. Pada tanggal 1 Pebruari 2001, Panitia Penerimaan Anggota Baru Bio-Explorer tahun 2000-2001 memberangkatkan tiga kelompok pendakian Gunung Slamet melalui tiga jalur yang berbeda.

Tujuannya adalah untuk bertemu di Puncak Bambangan pada waktu yang telah disepakati yaitu pukul delapan pagi hari tanggal 4 Pebruari 2001.  Dalam rombongan ini terdapat calon Anggota yang akan mendapatkan status keanggotaan setelah berhasil melakukan pendakian.  Mereka didampingi oleh Anggota yang sudah memiliki kapasitas untuk mengawasi perjalanan dan memandu jika terjadi hal-hal di luar apa yang sudah diprediksikan. Saya beserta Tatar mendampingi kelompok yang akan mendaki melalui jalur Kaliwadas – sebuah jalur yang tidak begitu populer, melipir punggungan sebelah barat daya, dari wilayah administratif Brebes – yang beranggotakan Hamdan, Rina, Endri, Bambang, dan Ivana. 

Berangkat dari Kampus bersama kelompok yang rencananya akan mendaki melalui jalur Liwung – jalur di sebelah timur laut, wilayah administratif Tegal, jalur yang sama digunakan oleh Soe Hok Gie di tahun 60-an.  Kami akan menempuh jalur transportasi yang sama melalui Ajibarang dan berpisah di Bumiayu karena kami harus berganti kendaraan ke arah Kaliwadas melalui Sirampog. Jalan desa yang lebih mirip sungai kering mengguncang minibus dobel gardan yang kami naiki, berjubel bersama dengan penumpang lain dengan berbagai barang bawaan.  Kami sendiri turut serta menyumbang keruwetan di dalam minibus karena masing-masing dari kami membawa beban antara 15 – 25 kilogram yang kami kemas dalam ransel gunung kami.  Belum saya sendiri yang selalu menyukai mendaki dengan membawa daypackterpisah untuk menyimpan peralatan dokumentasi dan buku-buku saya untuk memudahkan penggunaannya pada saat dalam perjalanan. Karena curah hujan sedang tinggi-tingginya, maka jalan menuju pos pendakianpun terlalu sulit untuk dicapai oleh minibus sehingga kami harus menyewa bak terbuka karena jarak masih sangat jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki.  Tentu saja meski kami yang menyewa, bukan hanya kami saja yang menaiki mobil tersebut.  

Sepanjang jalan, orang naik dan turun dengan bebasnya tanpa harus membayar kepada sopir.  Hal yang kami anggap sebagai bentuk berbagi kepada orang yang bahkan di kemudian hari, seandainya bertemu-pun, kami sudah tidak mengenalinya kembali. Pos Pendakian Kaliwadas merupakan rumah tetua dukuh yang digunakan untuk transit para pendaki, memesan makanan selama beristirahat di pos dan juga untuk melengkapi perbekalan pendakian, serta sebagai pusat pelaporan pendakian.  

Kami beristirahat di rumah bu Haji -kami menggunakan istilah orang desa- selama satu malam, karena perjalanan dari Kampus menuju Kaliwadas memakan waktu lebih dari 5 jam. Kaliwadas terletak di ketinggian 1.500 m dpl, dan merupakan pos pendakian umum tertinggi yang ada di sekeliling Gunung Slamet (Pos Bambangan berketinggian 1.450 m dpl, Pos Liwung berketinggian 800 m dpl).  Udara dingin serta kabut tebal menjadi keseharian di daerah ini, sehingga cocok untuk sayuran – yang menjadi komoditas utama pertanian di sekeliling Gunung Slamet kecuali lereng selatan.  Evaluasi menutup acara malam pertama perjalanan kami setelah makan malam yang kurang menumbuhkan selera. Jalur Kaliwadas sendiri merupakan jalur pendakian yang memiki cerita mistik paling kental.  Entah sengaja atau bukan, hal ini tidak saja menjadi bahan perbincangan di kalangan para pendaki yang berhasil melalui Kaliwadas, tetapi juga menjadi bahan yang seolah-olah dilebih-lebihkan oleh penduduk sekitar.  Sikap yang terlalu protektif yang cenderung tidak menyukai adanya orang luar untuk memasuki wilayah hutan mereka, membuat pendakian sejak awal sudah tidak nyaman dilakukan.  Hal ini sangat terasa oleh pendaki pemula yang merupakan sebagian besar kelompok kami.  Bayangan ketakutan akan hal-hal mistik sudah menjadi beban tersendiri bagi mereka, terutama Endri yang saat itu sedang menstruasi.  Sehingga, dengan lebih banyak diam kami mengawali pendakian pada tanggal 2 Pebruari 2001, sekitar pukul 08.30 WIB.

Jalur Kaliwadas bukan termasuk medan yang sulit karena sebagian besar merupakan jalan setapak yang relatif landai.  Melalui informasi yang kami dapatkan, jalur ini akan bertemu jalur Baturraden di hutan rumput sebelum plawangan puncak. Jarang sekali tanjakan yang menguras tenaga kami.  Kesulitan yang dirasakan cukup berarti hanyalah tertutupnya jalur pendakian oleh semak dan perdu, akibat jarang sekali pendaki yang memilih jalur ini.  Sepanjang perjalanan di hari pertama kami, lebih dari separuh string-line habis karena kami tidak mau mengambil resiko kehilangan jalan pulang jika tersesat. Harus diakui, kesulitan-kesulitan bermunculan akibat landainya medan yang kami lalui.

 Sepanjang jalan, saya berdebat dengan Tatar tanpa menemukan kesamaan hasil atas hasil plotting perjalanan kami di atas peta topografi.  Dengan kata lain, saya sangat yakin bahwa plotting para calon Anggota tentunya lebih tinggi tingkat kesalahannya. Jarang sekali terdengar suara tertawa (seperti kebiasaan kami setiap mendaki, menyelingi waktu dengan candaan ringan untuk menghilangkan rasa lelah yang mendominasi).  Pesan warga desa untuk tidak mentertawakan setiap dari kami yang jatuh terpeleset dipatuhi dengan baik, meski masing-masing dari bokong kami mendapatkan bagian mencium tanah basah di sepanjang perjalanan yang diiringi oleh hujan bulan Pebruari yang deras. 

Ada hal yang spesifik dari jalur Kaliwadas yang tidak dimiliki jalur jalur lain, yaitu banyaknya tumbuhan jingkat di sepanjang jalan.  Tumbuhan ini menimbulkan rasa seperti disengat serangga beracun, panas dan perih yang sangat dan meninggalkan jejak gatal yang sulit hilang.  saya tidak begitu merasakan karena mengantisipasi dengan menggunakan celana raincoat-ku sebagai pelapis celana lapangan.  Tidak bagi anggota kelompok yang lain, sehingga rintihan (karena tidak ada yang berani mengumpat, mereka mengganti dengan rintihan yang memelas). Kami beristirahat lebih awal pada hari pertama pendakian kami, membuka flying-camp di sebuah punggungan yang cukup lebar tetapi agak miring.  Dengan sedikit kerja keras, kami harus membabat perdu Strobillanthes sp., yang memang mendominasi lantai hutan di sepanjang jalur pendakian yang telah kami lewati. Setelah mendapatkan luasan yang cukup bersih dan rata, kami mendirikan dua tenda yang berhadapan satu sama lain, masing-masing untuk kelompok laki-laki dan perempuan.  

Kami membentangkan fly-sheet di antara tenda kami untuk tempat memasak dan berdiskusi. Seperti halnya pada setiap pendakian yang kulakukan, saya selalu menyempatkan untuk memasakkan menu spesial bagi teman-teman sependakian.  Saya memasak omlet yang cukup tebal, yang terbuat dari telur dan pupus tumbuhan pakis, yang tidak lupa dicampur dengan bawang bombay yang banyak, yang hampir tidak pernah absen dari daftar bawaan setiap pendakianku. Suasana perkemahan pertama kami cukup membuat ketegangan pendakian berkurang.  Seluruh anggota kelompok terlihat ceria di setiap aktifitas. Hal yang menyenangkan dari sebuah pendakian salah satunya adalah berkemah, di mana setiap karakter akan turut menentukan bagaimana hasil akhir sebuah perkemahan.  Kerjasama dibutuhkan untuk menyiapkan lahan, mendirikan tenda, menata perlengkapan dan peralatan agar tidak berserakan dan mudah menemukan pada saat dibutuhkan, memasak menu makanan, bahkan sampai mempersiapkan tempat khusus buat bercengkrama di luar tenda sambil meminum kopi dan merokok.  Bahkan jika cukup energi, mempersiapkan perapian akan sangat membuat waktu istirahat jadi lebih berkualitas.  Hal yang selalu saya tekankan pada setiap pendakian, membuat perkemahan yang senyaman mungkin. Malam harinya, kami melakukan evaluasi kembali untuk melihat kembali perjalanan di hari pertama kami mendaki.  Kembali kami simpulkan bahwa Endri mengalami tekanan mental dan fisik yang cukup hebat.  

Ivana mulai mengeluhkan kondisi fisiknya yang menurun. Dan hampir semuanya tanpa mengeluarkan pernyataan, menyepakati bahwa kami semua tertekan oleh cerita-cerita mistik yang ada. Perjalanan hari kedua dilakukan dengan satu kesepakatan baru, yaitu dengan lebih ceria.  Hal ini berarti bahwa hal-hal mistik selayaknya tidak menjadi bagian dari pendakian karena cukup menguras energi.  Tidak heran jika sepanjang perjalanan kami setengah memaksakan diri untuk lebih riang, hingga keriangan itu benar-benar muncul.  

Target kami hari ini adalah plawangan, dengan harapan bisa bertemu dengan kelompok yang mendaki melalui jalur Baturraden. Ada kejadian bodoh yang menjadai catatan evaluasiku atas hal ceroboh yang dilakukan Bambang.  Pada istirahat siang dia pamit untuk buang air sambil membawa jerigen air berkapasitas 5 liter.  Dia menyelesaikan buang hajatnya dalam waktu yang relatif singkat dan kembali ke tempat kami dengan jerigen yang sudah kosong.  Tentu hal ini sangat membuat kami marah, karena kami tidak akan menemukan mata air hingga Rangkah (tempat perkemahan di Jalur Bambangan di ketinggian 2.700 m dpl).  Kami hanya akan mendapatkan suplai air minum jika malam hari saat berkemah turun hujan yang cukup deras, dan tentu saja hujan saat berkemah bukan hal yang disukai siapapun. Perjalanan dari perkemahan pertama kami menuju plawangan melewati beberapa sub-tipe hutan pegunungan.  Jika dihari pertama perjalanan, hutan didominasi oleh semak dan perdu di lantai hutan maka perjalanan di hari kedua pendakian lebih banyak melalui hutan yang didominasi pepohonan.  Umur pepohonan yang cukup tua, mungkin sudah ratusan tahun, membuat percabangannya melengkung ke bawah, tertarik gravitasi, sehingga menambah kesan seram lingkungan hutan. 

Hujan yang turun semenjak tengah hari benar-benar menghambat perjalanan kami, sehingga hari itu kami – meskipun memaksakan berkemah sangat terlambat – tidak mampu mencapai plawangan puncak untuk bergabung dengan kelompok pendaki dari Jalur Baturraden. Setelah hari benar-benar gelap, kami memutuskan untuk membuka kemah di tengah-tengah punggunan yang terbuka, di tengah hujan yang sangat deras mengguyur kami.  Jalur tempat kami berada saat itu merupakan kawasan hutan yang habis terbakar setahun sebelumnya.  Pepohonan mati yang hangus terbakar masih berdiri tegak menghitam tersebar di setiap penjuru mata kami memandang.  Rumput setinggi paha orang dewasa menutup permukaan tanah, cukup untuk mencegah erosi akibat gerusan curah hujan yang sangat tinggi di lereng selatan Gunung Slamet. Akibat kondisi yang sangat mendesak, kami mengambil keputusan yang sebenarnya cukup bodoh dengan mendirikan tenda di atas punggungan yang terbuka.  Pada bulan Pebruari, hampir jarang terjadi awan tersibak dari badan gunung.  Hujan lebat disertai petir merupakan keniscayaan.  Akan tetapi, pada saat itu hampir tidar terfikir oleh kami bahaya apa yang sedang mengintai di tempat kami berkemah. Karena tidak memungkinkan untuk mendirikan dua tenda, maka kami hanya memasang satu tenda yang paling besar – sebuah fly-sheet yang tipis dan sangat tidak membantu mengurangi hawa dingin yang hampir mendekati 5 oC.  Hujan yang cukup deras di satu sisi merupakan siksaan bagi kami, karena harus berkemah dalam keadaan basah.  Tetapi di sisi lain, hujan cukup mampu membuat suhu menjadi lebih hangat.  

Dengan duduk berdesakan di dalam tenda, kami menghabiskan malam tanpa evaluasi, dan juga tanpa makan malam yang selalu menjadi hal yang menghibur. Pagi harinya, kami mendapati kenyataan bahwa ternyata plawangan tempat kelompok pendaki yang melewati Jalur Baturraden hanya 15 menit di depan kami.  Kami saling menyapa dengan meneriakkan salam BE, dan saling menjawwab dengan teriakan Hidup BE.  

Hal yang cukup membuat kami terhibur, bertemu dengan manusia lain selain kami di alam bebas di bulan-bulan yang penuh dengan resiko hujan badai yang dalam sejarah pendakian Gunung Slamet telah menewaskan belasan orang. Pada awalnya, kami mendapati diri kami dalam kondisi fisik yang ideal untuk melakukan pendakian hingga puncak, kemudian melipir bibir kawah untuk mencapai puncak Bambangan.  Hal itu membuat kami sangat bersemangat, ditambah cuaca cerah dan hangat yang membuat kami tidak mau membuang waktu. Kami bergegas menuju puncak!! 

Pada awalnya, kami mendapati diri kami dalam kondisi fisik yang ideal untuk melakukan pendakian hingga puncak, kemudian melipir bibir kawah untuk mencapai puncak Bambangan.  Hal itu membuat kami sangat bersemangat, ditambah cuaca cerah dan hangat yang membuat kami tidak mau membuang waktu. Kami bergegas menuju puncak!! Bertemu dengan kelompok pendaki Jalur Baturraden, membuat suasana lebih hangat.  Saya sempat mengadakan evaluasi singkat dengan Lena dan Sulimin – pendamping kelompok Baturraden, dan juga membuat rencana untuk lebih membuat pendampingan menuju puncak dan melipir kawah menjadi lebih efektif.  Hal ini kami lakukan mengingat perjalanan hari ini memiliki resiko yang sangat tinggi, terutama melipir kawah. Puncak Gunung Slamet merupakan kawasan puncak yang cukup lebar, terdiri atas lubang kawah di bagian barat dan Segara Wedi – kawasan datar berpasir tebal – di bagian timur.  Antara kawah dengan Segara Wedi dipisahkan oleh punggungan kecil, yang seolah-olah menjadi tanggul kawah.  Ada sedikit cerukan yang menghubungkan antara bibir kawah dengan Segara Wedi. Kawasan puncak Slamet yang demikian menyebabkan jalur pendakian tidak menyatu pada satu titik.  Jalur pendakian Baturraden dan Kaliwadas bertemu di titik puncak yang sama, kemudian puncak jalur Guci.  Kedua jalur tersebut berakhir di bibir kawah. 

 Jalur pendakian Dukuh Liwung berakhir di punggungan sebelah utara segara wedi, punggungan yang berdiri sendiri, terpotong oleh erosi lava di sebelah atas Tegal.  Dan Puncak tertinggi adalah titik akhir dari jalur Bambangan, setinggi 3.428 m dpl. Pendaki yang merencanakan melintas dari Jalur Baturraden dan Kaliwadas ke arah jalur Bambangan harus melipir bibir kawah yang sempit dan terjal di beberapa bagian.  Jalur yang sangat membahayakan bagi pengidap phobia ketinggian, dan jalur yang sangat melelahkan bagi setiap pendaki yang telah terkuras tenaganya setelah menempuh jalur yang cukup panjang dan melelahkan, baik jalur Kaliwadas maupun jalur Baturraden.  Pada akhir bibir kawah di dekat jalur perlintasan ke puncak Bambangan, terdapat turunan landai yang berakhir di tepi jurang yang sangat curam di tengah-tengah daerah tanah merah.  Turunan ini sering menyesatkan para pendaki yang belum mengenal medan, dan belum mendapatkan informasi yang benar tentang daerah puncak Slamet. Kami mendaki tanah merah dengan penuh semangat, dan saya bisa merasakan betapa para calon Anggota terlalu bersemangat melebihi kondisi fisiknya, untuk dapat mencapai puncak pertama mereka, puncak gunung tertinggi kedua sekaligus gunung soliter terbesar di Jawa.  

Cuaca cerah menyebabkan sinar matahari sangat membantu menghangatkan tubuh kami, membantu kalor terbakar dengan baik, dan kami sangat berkeringat.  Hingga saat itu, kami yakin kelompok pendaki jalur Dukuh Liwung akan bisa kami temui kurang dari dua jam kedepan. Jika ada hal yang membuatku terbebani, itu adalah sederet gumpalan awan cumulus nimbus yang menggantung jauh di atas Samudera Hindia.  Mengingat tiupan angin yang kencang dari arah selatan, kekhawatiranku bahwa awan itu akan menabrak gunung dan menimbulkan masalah sungguh sangat beralasan.  Hal ini hanya saya sampaikan kepada Sulimin, pendamping kelompok pendaki jalur Baturraden yang ngotot menunggu tim kami untuk bersama-sama menuju puncak dan melipir bibir kawah, menyongsong tim pendakian Dukuh Liwung. 

Tidak ada sepuluh menit sebelum kami menjejakkan kaki di puncak, mendadak hawa dingin berhembus dari arah belakang.  Sesaat saya terkejut ketika menoleh ke arah belakang kami, kegelapan sudah menutupi setiap bagian hutan di bawah kami.  Dengan rasa panik yang mulai menguasai, saya menyemangati semua pendaki untuk segera mencapai puncak. Dan dalam kegelapan akibat jarak pandang yang tidak lebih dari tiga meter, kami berhasil mencapai puncak, kecuali Dedy dan Wiwid yang tertinggal jauh di belakang.  Sampai saat itu, para calon Anggota masih belum menyadari bahwa yang akan dihadapi sepuluh menit kedepan adalah apa yang menjadi awal dari malapetaka bagi pendaki yang menyusul di bawah kami, yang pada saat itu keberadaan mereka belum kami sadari. Hanya sekitar 5 menit berada di puncak, Sulimin mendekati dengan panik dan memaksa saya untuk mengambil keputusan kembali ke jalur kami mendaki dan membatalkan rencana melipir ke arah Bambangan. Merencanakan sebuah pendakian, apalagi pendakian pengembaraan merupakan pendakian yang sudah diantisipasi dengan berbagai pertimbangan.  

Terdapat rencana lain sebagai antisipasi jika muncul situasi yang membuat rencana awal tidak memungkinkan untuk dilaksanakan.  Sebagai doktrin dalam organisasi kami, Bio-Explorer, memang diwajibkan membuat pendakian atau kegiatan alam bebas apapun, menjadi kegiatan yang terencana, terukur dan terantisipasi baik oleh para pelaksana kegiatan alam bebas maupun oleh rekan lain yang berada di sekretariat untuk mengambil langkah evakuasi jika dibutuhkan. Bukan hal sulit, jika mengambil keputusan di atas meja atau di setiap forum diskusi karena situasi dan kondisi lingkungan mendukung.  Lain sekali jika kita harus mengambil keputusan, pada saat petir sudah mulai berkelebatan di sekitar puncak yang disertai guntur yang bergemuruh. 

Ada beberapa hal yang harus saya pertimbangkan dengan cepat, tepat dan sekaligus bijaksana, terkait dengan capaian kegiatan pendakian ini. Yang terfikir pertama kali olehku adalah kemungkinan bahwa kelompok pendaki jalur Liwung sudah berada di puncak, atau bahkan mungkin sudah berada di Segara Wedi.  Kemungkinan itu sangat logis, mengingat jalan menuju puncak Liwung dari batas vegetasi relatif lebih mudah karena kondisi lerengnya yang berbatu.  Tidak seperti jalur Baturraden, pasir vulkanik menutupi sebagian besar lereng, dengan kedalaman 50 cm. Berjalan di atas pasir sangat menguras tenaga, karena kita akan selalu mendapati pijakan kita longsor sehingga kita akan ikut terseret ke bawah.  Kita harus menjaga agar berat badan kita tertumpu pada kaki untuk menekan pasir agar lebih stabil.  Hal ini sungguh sangat menyulitkan pada pemula yang merupakan sebagian besar dari kami, sehingga perjalanan ke arah puncak terlambat hampir satu jam dari yang seharusnya kami capai. Hal kedua yang membuat saya masih berfikiran untuk tetap melanjutkan perjalanan adalah kegagalan pengembaraan tahun lalu untuk melakukan pelantikan calon Anggota di Segara Wedi.  Waktu itu, saya mendampingi melalui jalur Liwung dan berhasil memandu calon Anggota menuruni puncak Liwung menuju Segara Wedi, melewati batuan labil yang menempel di dinding curam sedalam 100 meter.  

Kami menghabiskan waktu lebih dari tiga jam di Puncak yang sungguh menyiksa, menunggu kelompok yang mendaki melalui Kaliwadas yang tidak menunjukkan tanda-tanda berhasil melipir kawah.  Kami saat itu tidak membawa alat komunikasi apapun, yang jika adapun tidak akan berguna karena topografi yang menghalangi penerimaan frekuensi radio. Di kemudian hari ketika kami sudah sampai di kampus, kami mengetahui bahwa perjalanan kelompok Kaliwadas terhambat karena salah satu calon Anggota tidak mampu meneruskan perjalanan sejak hari pertama pendakian.  Dan pada saat ini, saya berada di pihak yang saya tunggu satu tahun berselang.  Bukan karena ada salah satu pendaki yang tidak mampu melanjutkan perjalanan, tetapi karena faktor cuaca yang tidak menentu. Berfikir bahwa seluruh pendaki saat itu berada pada kondisi bagus merupakan sebuah pemikiran bodoh yang baru saya ketika situasi sudah tidak terkendali.  Perhatianku tertuju pada Endri, yang hanya mampu duduk diam, membungkukkan badan, menyembunyikan kedua belah tangan diantara perut dan paha, dan menggigil tanpa kendali.  Di kelompok Baturraden, saya mendapati Wiwid ternyata memiliki phobia ketinggian yang membuat dia hanya mampu  duduk diam ketsayatan, tanpa mau bergerak naik atau turun. Dalam situasi yang kacau -menurutku-, para pendamping memutuskan untuk turun kembali ke plawangan karena meneruskan perjalanan melipir tidak mungkin dilakukan.

Karena kondisi Endri yang saat itu sudah terkena hipothermy, saya mengambil keputusan untuk memberikan intruksi kepada Hamdan dan Bambang mengambil alih ransel yang di gendong Endri.  Saya sendiri mengambil keputusan yang nekat, dan sangat beresiko membahayakan nyawa saya dan nyawa Endri sekaligus. Karena sudah dalam kondisi tidak sadar, tapi masih belum pingsan, maka Endri tidak mampu bahkan untuk duduk.  Setiap kali tumpuan badannya dilepaskan, maka dia akan menggelosor rebah ke tanah.  Hal ini membuat saya harus berfikir ekstra cepat cara evakuasi yang paling efisien, dengan target secepatnya meninggalkan kawasan puncak menuju ke zona aman, di mana kami bisa membuat tenda dan memulihkan tenaga.

Saya mendudukkan Endri, dengan posisi kaki selonjor lurus ke depan.  Dengan tangan yang sudah diselimuti bunga-bunga es, saya mencengkeram kuat lengan atas, memposisikan kaki Endri berada di antara kedua tungkai kakiku.  Dengan tanpa berfikir panjang, saya berjalan mundur sambil menyeret pendaki yang kehilangan kesadaran dan memberikan tamparan setiap satu dua menit sekali, di ketinggian 3.300 m dpl, menuju 300 vertikal di bawah kami dengan kemiringan antara 40 hingga 60o, di tengah-tengah awal sebuah badai yang akan mengguncang kawasan puncak Slamet hingga lebih dari sebulan kedepan. Sambil berjalan turun, saya harus tetap memperhatikan pendaki yang lain sebagai tanggung jawab moral karena dari segi usia, saya paling tua di antara para pendaki, dan dari faktor lamanya berkecimpung di organisasi, saya paling lama. 

Pendaki yang menjadi perhatianku yang utama adalah Hamdan, Bambang dan Tatar, yang mendapat tanggung jawab mengevakuasi ransel milik Endri.  Sempat di pertengahan punggunan tanah merah, tas terlepas dari pegangan, meluncur tak terkendali ke arah jurang di sebelah kanan kami.  Beruntung kontur yang bergelombang di sebelah kanan, membuat ransel tertahan oleh gundukan kecil bebatuan. Lebih dari dua jam, kami baru sampai di daerah dekat plawangan di mana berserakan bebatuan besar.  Karena banyak dari pendaki yang kelelahan, maka kami memutuskan untuk beristirahat dibalik tiupan angin yang pada saat itu sudah mampu membuat pasir beterbangan menerpa apa saja termasuk muka kami yang telanjang.  Tidak ada pelindung mata, karena memang badai seperti yang kami alami merupakan badai yang jarang terjadi. 

Dan jam sudah menunjukkan pukul 14.00 WIB ketika kami sudah berada di tempat kelompok pendaki Baturraden berkemah malam sebelumnya. Sisa-sisa kekacauan masih membayangi ketika kami, kedua kelompok, mendirikan tenda pada satu lokasi untuk memudahkan pengawasan dan koordinasi.  Hujan mengguyur sepanjang sore hingga malam, mengiringi evaluasi keseluruhan pendakian karena kami harus melakukan pelantikan pada dinihari kedepan.  Dua jam yang menentukan menjadi evaluasi yang sangat penting, mengingat pada dua jam tersebut calon peserta lebih banyak membuang waktu untuk bercanda dengan kelompok Baturraden ditambah dengan penerapan teknik yang kurang tepat pada saat mendaki tanah merah. Dari segi kesehatan, menunjukkan tanda membaik.  Endri yang sempat merintih sepanjang malam dan melewatkan sesi evaluasi, mulai tenang pada dinihari yang gerimis tersebut.  

Atas kesepakatan bersama, pelantikan ditunda hingga Endri cukup kuat untuk bisa turut serta dalam prosesi penyematan syal merah Bio-Explorer yang menjadi tanda kebanggaan bagi yang menyandangnya.  Dan keputusan untuk beralih pada skenario cadangan diambil, berarti kami akan turun melalui jalur Baturraden dengan perkiraan keterlambatan satu hari. Ternyata baru pada pukul 09.00 WIB keesokan harinya, kami baru bisa melakukan penyematan syal setelah sebelumnya mengemasi peralatan kami.  Tanpa menunggu kondisi Endri pulih kembali, perjalanan dilanjutkan mengingat perbekalan kami yang menipis. Ransel milik Endri dibawa bergantian antara saya, Tatar, Bambang dan Hamdan.  

Akan tetapi, pada perjalanan di kemudian, Tatar harus lebih sering memapah Endri karena serangan mountain sickness yang cukup parah. Entah karena kami terlalu kelelahan, atau karena faktor lain, kami membuat kesalahan besar melewatkan pertigaan menuju jalur Baturraden.  Dengan langkah dan pikiran yang kacau, tanpa kami sadari, kami telah masuk ke jalur Kaliwadas.  Di daerah batas kebakaran hutan, kami sempat panik karena kami hanya berjalan berputar-putar selama lebih dari satu jam.  Kami terlambat menyadari bahwa di daerah tersebut terdapat percabangan yang akhirnya kembali menyatu di jalur utama pendakian. 

Dengan perasaan ketakutan karena pikiran kami kembali dikuasai oleh hal-hal mistik, kami melanjutkan perjalanan kembali dengan keraguan yang semakin nyata bahwa kami telah kembali masuk ke jalur Kaliwadas.  Detik demi detik, seiring langkah kami yang semakin menapaki jalan turun, kami semakin kehilangan pikiran waras kami.  Hingga kami membuat kesalahan fatal untuk kesekian kalinya. Tidak jauh dari perkemahan pertama kami, kami melewati sebuah punggungan sempit akibat tebing di kiri kanan punggungan tererosi. Hal ini terekam jelas karena saya sempat berhenti lama untuk memperhatikan proses terbentuknya jembatan alam tersebut. 

Pada tengah hari, kami sudah berada pada jembatan alam tersebut.  Dan dengan sangat kecewa, kami sudah meyakini bahwa kami telah berjalan di jalur Kaliwadas.  Dan itu sungguh membuat saya pribadi berfikir keras, mengingat uang yang tersisa di bendahara perjalanan jauh dari cukup untuk ongkos transportasi kami bertujuh.  Bayangan akan terlantar di jalanan sudah menghantui pikiranku, hingga menutup akal sehatku dengan mengatakan bahwa kami belum mencapai pertigaan ke jalur Baturraden. Hal yang mengubah cerita perjalanan berikutnya dan membuat kami semakin tersesat memasuki belantara hutan Gunung Slamet yang jarang dilewati manusia terjadi kemudian.  Dalam hitunganku, seharusnya kami sudah lama sampai di tempat perkemahan kami di hari pertama pendakian.  Akan tetapi, tempat tersebut belum nampak juga.  Kami bahkan menemukan sebuah pertigaan yang sangat jelas terbuka, dan baru saja dilewati oleh serombongan orang.  Jejak-jejaknya masih dominan membekas.  

Satu hal yang sangat jelas terlihat, namun baru saya sadari kemudian setelah kami sampai di bawah adalah adanya jejak kaki telanjang yang cukup besar melebihi ukuran orang normal, tetapi hanya jejak kaki kiri yang telihat. Dengan pikiran yang sudah tidak utuh lagi karena pengaruh kelelahan, tanggung jawab, beban berat dan cuaca yang buruk, membuatku mengambil inisiatif untuk mengambil jalan ke kiri dengan meyakinkan yang lain bahwa kami menemukan jalan yang mengarah ke Baturraden. Sepanjang jalan, saya berdebat dengan Tatar tentang keputusan yang saya ambil.  Tatar menyangsikan keputusanku bahwa kami tepat berada di jalur pendakian Baturraden, sedangkan saya ngotot bahwa kami berada di jalur yang benar.


Meskipun orientasi medan yang kami lakukan di sepanjang perjalanan tidak sedikitpun menunjukkan kesamaan dengan kontur yang tergambar di jalur Baturraden, tak satupun dari kami berfikir untuk kembali ke plawangan untuk kembali menelusuri jalur dengan benar. Dengan perbekalan yang minim, dan terhambatnya perjalanan kami karena Endri semakin sering kehilangan kesadaran akibat kelelahan yang amat sangat, ditambah dengan kesimpulan bahwa kami telah tersesat, membuat perjalanan semakin tidak nyaman dilalui.  

Pada pukul 14.00 tanggal 5 Pebruari 2001, kami telah kehabisan air.  Semua pendaki terduduk lemas dengan wajah menunjukkan rasa frustasi. Di sepanjang perjalanan, terdengar aliran air di lembah sebelah kiri kami.  Lereng yang sangat curam, dan jauhnya aliran air membuat tidak ada satupun dari kami yang berinisiatif untuk turun. Akan tetapi, pada kondisi yang sangat mendesak seperti ini, satu-satunya jalan agar kami dapat bertahan hidup hanyalah dengan menuruni lereng, dan mengambil sebanyak mungkin air.  

Sepuluh menit kemudian, semua laki-laki dalam kelompok kami di tambah Rina (saya salut dengan ketahanan fisik yang dimilikinya), sudah terseok-seok menuruni lereng yang curam, terperosok beberapa meter akibat lapisan tanah yang terlalu gembur, tergesek oleh duri perdu yang rimbun menutupi tanah di sekeliling kami.  Dan sepuluh menit berikutnya kami menemukan sungai yang cukup lebar dan berair sangat jernih. Seperti terlepas dari beban berat sepanjang perjalanan, kami berhamburan masuk ke air, minum sebanyak yang kami mampu, dan merendam diri sepuasnya dalam air dingin yang menyegarkan. Perjalanan menaiki lereng di mana kami menghabiskan banyak waktu ternyata jauh lebih berat dari yang kami bayangkan.  

Lelah yang hilang pada saat kami menghabiskan kurang dari sepuluh menit di sungai, kembali menyengat lebih hebat.  Haus yang kami rasakan sebelumnya, kembali menyerang dengan dahsyat.  Dengan hanya membawa kurang dari enam liter air, di tambah dengan perilsaya pendaki pemula yang masih belum bijaksana dalam menggunakan air, maka kami hanya memiliki sisa kurang dari satu liter air pada saat kami terjebak kegelapan di tengah-tengah hutan bambu. Entah karena sudah melewati titik kelelahan terendah dalam diri kami, kami menyiapkan kemah dalam kondisi gelap, di tengah-tengah hutan bambu itu juga.  Hamdan bekerja keras membentangkan tenda sekaligus menyemangati teman-teman pendaki wanita yang sudah sangat jarang berbicara. 

Dalam situasi ini, emosi sangat mudah muncul.  Dan dalam kelompok kami semua pendaki wanita sudah lebih dikendalikan oleh emosinya dari pada oleh pikiran sehatnya, dan Bambang sebagai pendaki pria pertama yang mudah terpancing emosinya.  Dia sudah tidak mau membawakan ransel milik Endri, karena membawa beban di pundaknya sendiripun sudah sedemikian kesulitan. Perbekalan makanan kami yang tersisa saat itu adalah tiga bungkus indomie, tiga kaleng sarden, setengah bungkus biskuit, kopi sebungkus, sedikit gula pasir dan bumbu-bumbu yang kurang mampu menyumbang kalori.  Air sungai yang tersisa digunakan untuk memasak indomie.  Sedangkan untuk membuat kopi, kami harus menebang pohon bambu yang ada di sekeliling kami.  

Hamdan dan Bambang membantu dengan semangat mengumpulkan air dari satu pohon bambu ke pohon bambu yang lainnya.  Ada lebih dari cukup air yang tersedia untuk minum kami semua, meskipun sangat keruh dan serbuk-serbuk kayu bambu sangat terasa melewati kerongkongan kami saat kami meneguknya. Malam kami lewati dengan sedikit bicara.  Hanya sesekali kami membahas cerita perjalanan kami hingga kami tersesat di titik itu.  Endri sudah tidak lagi meracau malam ini, dan para pendaki wanita sudah mulai menunjukkan perkembangan psikologis yang baik. Keesokan harinya, ada tiga orang pencari burung yang melewati kami.  Kesempatan ini tidak kami sia-siakan untuk memperoleh informasi tentang desa di bawah kami.  Mereka menyebutkan sebuah desa yang saya sendiri masih tidak begitu tahu letaknya, hanya sedikit menangkap kejelasan bahwa nanti kami akan sampai di Karanglewas jika kami naik angkutan pedesaan yang ada. Dikemudian hari, saya baru tahu jika desa tersebut bernama Windujaya.  Sebuah desa yang akhirnya akrab dalam aktifitas-aktifitasku lima tahun kemudian. Melihat mereka membawa bekal rokok, kami memaksa membeli 3 batang rokok 76 dan kami ganti dengan uang tiga ribu rupiah, yang mana jika kami membeli di warung di kota, kami akan mendapatkan 3 bungkus rokok dengan merk yang sama. Dari penangkap burung tersebut pula, kami mendapatkan berita bahwa mereka bertemu dengan kawan kami kelompok pendaki jalur Baturraden membuka perkemahan sekitar setengah jam di depan kami.  Tentu saja, berita tersebut semakin membuat kepala saya berputar-putar, kebingungan merangkai setiap peristiwa yang kami alami beberapa hari di belakang. Dalam pikiranku saat itu, masih logis jika kami melewatkan pertigaan yang mengarah ke jalur pendakian Baturraden. 

Akan tetapi, teman kami yang mendaki melalui jalur Baturraden-pun kehilangan pengamatan terhadap jalur yang mereka lalui dan secara tidak terduga memilih untuk mengambil jalur yang bahkan tidak tergambar di peta dan tidak pernah kami dapatkan informasi sebelumnya tentang keberadaan jalur ini.  Kembali saya merasa dikendalikan oleh aspek mistik yang selalu menyertai di sepanjang perjalanan kami, akan tetapi segera saya buang jauh-jauh pikiran-pikiran tidak logis yang muncul. Perjalanan yang tersisa, tidak lagi begitu membebani kecuali bahwa menurut informasi dari para penangkap burung yang kami temui, waktu tempu hingga keluar dari hutan damar yang akan kami lewati.  Akan tetapi, hingga tengah hari perjalanan kami sejak kami memulai perjalanan tiga jam yang lalu kami belum menemukan tanda-tanda hutan damar ini akan segera berakhir.  

Kembali rasa lelah yang menguasai tubuhku, turut andil mendominasi cara berfikirku.  Ransel milik Endri serta daypack milikku terpaksa saya gendong sendirian hari ini, karena fisik para pendaki yang lain sudah sangat terkuras.  Keinginan untuk membuat perjalanan diselesaikan lebih cepat mengalahkan rasa lelah yang setiap detiknya selalu bertambah. Tepat pukul 14.00 WIB dihari yang sama, kami keluar dari rerimbunan pohon damar dan menjumpai gubuk pemantau keamanan hutan milik Polisi Hutan Perhutani.  Kami menghabiskan banyak waktu untuk melepaskan lelah, atau lebih tepatnya melepaskan diri dari sisa-sisa tekanan akibat hantaman badai di daerah puncak ditambah tersesat selama dua hari perjalanan kami. Saya dan Tatar tidak membuang waktu lama untuk mengoreksi perjalanan kami di atas peta.  Daerah yang terbuka karena belum lama berselang Perhutani melakukan penebangan besar-besaran di sepanjang lereng selatan, memudahkan kami untuk melakukan orientasi medan sekaligus beberapa resection.  

Perdebatan tidak serta merta terhenti ketika saya meyakinkan Tatar bahwa bukit yang ada di depan kami adalah Cendana.  Tatar tidak menunjukkan sikap menyetujui maupun menolak.  Saya bisa memahami saat itu, karena keputusan yang saya ambil telah membawa kami tersesat masuk ke daerah yang tidak kami rencanakan sebelumnya, sekaligus tidak pernah diinformasikan sebelum rencana pendakian mulai disusun. Saya hanya teringat lamat-lamat bahwa pada awal tahun 1997, saat saya baru saja dilantik sebagai Anggota Bio-Explorer, ada kepanitiaan yang bernama Ekspedisi Bartelsi – sebuah kepanitiaan yang bertugas untuk menelusuri jalur yang dahulu sering dipakai oleh pihak militer dalam pendakian menuju puncak Gunung Slamet dan menurut sedikit informasi yang ada, jalur tersebut bermula di daerah Windujaya.  

Kepanitiaan ini dihentikan dengan hasil tidak menemukan jalur tersebut, setelah beberapa survey dilakukan.  Dan kami, yang saat ini baru luput dari “gerbang kematian” akibat tersesat dan lepas dari badai yang membuat salah satu teman kami terserang hypothermy, antara yakin dan tidak merasa telah menemukan teka-teki yang belum terungkap dalam Ekspedisi Bartelsi, empat tahun sebelumnya. Keyakinan bahwa bukit yang berdiri menjulang di depan kami adalah Cendana terjawab ketika kami bertemu dengan seorang ibu berusia lanjut, yang sedang menggarap ladang hutan.  

Tanpa pikir panjang dan dengan sedikit ketergesaan, saya membopong semua beban di tubuhku, berjalan mendahului yang lain berjalan menuju Cendana, dan tak berapa lama berselang kami sudah duduk-duduk di pinggir wangan wali (saluran irigasi yang berhulu dari sungai Pagu menuju ke Melung, melipir mengikuti kontur sebelah timur Gunung Cendana). Kami segera melakukan koordinasi untuk menyelesaikan perjalanan ini dengan cepat.  Saya dan Hamdan akan berjalan mendahului yang lain menuju Kalipagu, mencari kendaraan sewaan yang bisa mengantarkan kami ke kampus.  

Sedangkan Tatar beserta Bambang akan mengawal para pendaki wanita yang relatif sudah begitu lemah untuk dapat berjalan dengan cepat. Saat-saat seperti ini, merupakan saat yang amat jarang terjadi dalam hidupku yang sudah berkepala tiga ini.  Melewati ambang batas kemampuan bertahan hidup, merasa terbebas dari ketakutan yang melekat selama beberapa hari akibat peristiwa-peristiwa yang terlalu ekstrim dalam hidup, dan kami menemukan bahwa kami terbaring di pinggir saluran air yang bening di wilayah yang sangat kami kenal, meskipun masih di dalam hutan. Sepuluh menit kemudian, saya dan Hamdan sudah berada di rumah mamake di Kalipagu, seorang pedagang makanan musiman di Cendana, menikmati segelas kopi panas dan mendoan hangat, dan hisapan dalam rokok yang seolah-olah tidak kami temui sekian bulan, serta memesankan yang lain minuman dan makanan. 

Dengan bantuan warga Kalipagu yang sudah saya kenal dengan baik, kami mendapatkan mobil sewaan dengan mudah dan harga murah.  Sehingga uang yang tersedia sangat cukup untuk membayar semua makanan kami, membayar sewa mobil dan mengadakan ritual sederhana setibanya kami di kampus (dahulu kami punya kebiasaan begitu memasuki kawasan kampus dari mendaki gunung, kami langsung menuju ke Al-Fath – makan ayam bakar kesukaan kami). Dan akhirnya kami tiba di sekretariat dalam kondisi kelelahan, dan sekaligus kekenyangan.  Sungguh membahagiakan melihat wajah-wajah ceria teman-teman Pengurus menyambut kedatangan kami.  Kami selaku pendamping memberikan laporan lisan bahwa pendakian berhasil mencapai Puncak, tetapi gagal melipir bibir kawah menuju Bambangan karena terjadi badai yang cukup besar, serta seorang dari kelompok mengalami hypothermy.  

Perjalanan turun kami yang tidak melalui jalur semestinya juga saya laporkan sebagai “dampak dari pengambilan keputusan yang penuh ketergesaan dan kurang disiplin dalam melakukan perjalanan”. Kami mendapatkan kabar bahwa kelompok pendaki jalur Baturraden telah lebih dahulu sampai dan melapor ke sekretariat, dan telah pulang ke tempat tinggal masing-masing untuk beristirahat.  Mereka tidak mendefinisikan gunung yang mencuat di depan mata sebagai gunung Cendana, dan dengan hanya berbekal petunjuk seorang petani (yang juga kami tanyai), mereka mengambil arah ke desa Windujaya dan menempuh jalan pulang melalui Karang Lewas dengan angkutan kota konvensional. 

Cerita bahwa kami telah keluar dari perjalanan yang sarat akan peristiwa yang bagi saya pribadi sangat ajaib dan banyak hal-hal yang tidak logis, ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Tepat tiga hari setelah kami sampai di sekretariat tanpa kehilangan satupun dari anggota kelompok kami, ada edaran untuk melakukan operasi pencarian terhadap lebih dari 25 orang pendaki dari Mapagama UGM yang terbagi dalam empat kelompok, yang menempuh pendakian melalui jalur Kaliwadas dan Baturraden. Operasi pencarian yang melelahkan berhasil mengevakuasi ketiga kelompok.  Sedangkan satu kelompok, kehilangan lima dari total enam anggota kelompok.  Keempat korban merupakan Anggota yang baru dilantik, dan satu orang merupakan orang yang belum memiliki pengalaman mendaki gunung karena sebenarnya dia seorang penyelam. Ada motif yang sama antara tim pendaki Bio-Explorer dengan tim pendaki Mapagama UGM, yaitu membawa Anggota yang merupakan pendaki pemula untuk melakukan perjalanan melalui titik pendakian yang berbeda, kemudian melipir bibir kawah menuju Bambangan. Selisih waktu yang hanya satu hari, dapat diartikan bahwa kami melakukan pendakian pada kondisi cuaca yang relatif sama, yaitu kami berada pada awal siklus satu winduan badai Gunung Slamet di bulan Pebruari yang terkenal cukup ganas.  Sewindu sebelumnya, Bio-Explorer juga kehilangan salah seorang pendaki ulung. 

Dalam tulisan ini, tidak ada maksud penulis untuk lebih memuji sikap mental yang menjadi standar dalam setiap pendakian yang dilakukan para anggota Bio-Explorer, lebih baik dari pada yang diterapkan oleh Mapagama.  Akan tetapi, pengambilan keputusan untuk tidak memaksakan diri melipir bibir kawah menuju Bambangan ternyata berdampak yang sangat berbeda. Kita diajari untuk mengedepankan keselamatan perjalanan melebihi tujuan sebuah perjalanan.  Memaksakan diri untuk terus mendaki padahal kondisi fisik dan cuaca sudah tidak memungkinkan adalah tindakan konyol dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.  

Pemaksaan diri dalam sebuah pendakian tidak hanya membahayakan diri kita sendiri, akan tetapi juga membahayakan nyawa orang lain dalam kelompok. Seandainya saat itu, dengan alasan bahwa saya merupakan pendaki yang paling senior, dan akan pasti terjadi jika saya memutuskan akan terus, maka hasilnya akan berbeda.  Kita akan berkabung pada tepat sewindu setelah kita kehilangan Iwan Setiawan (seorang yang saya rasakan secara emosionil sangat dekat, tapi bahkan pernah bertemu-pun tidak), dan kehilangan Anggota lebih banyak. Sewindu saya menyimpan cerita ini, yang baru berani secara detil saya sampaikan kepada teman-teman.  Alasan saya kenapa menyimpan cerita ini terlalu lama cenderung lebih naif, saya takut disalahkan atas perjalanan pendakian tersebut. 

Adalah keputusan saya sejak awal yang membuat perjalanan terhambat.  Saya menggunakan tolok ukur sendiri dalam mengukur lamanya sebuah perjalanan untuk mencapai target harian, dan ternyata pendaki dalam kelompok saya memiliki standar fisik dan kemampuan teknis di bawah saya saat itu. Selain itu, perasaan bersalah yang muncul bukan dari kesalahan saya telah mencuri hampir separuh energi berfikir selama lebih dari dua tahun setelah tragedi itu.  Saya selalu berfikir, seandainya kami bertemu dengan para pendaki dari Mapagama tersebut,  maka kami akan dapat memberikan informasi yang akurat dan mutakhir tentang mulut badai yang menerjang Puncak Slamet dan kemungkinan akan berlangsung dalam waktu yang lama, mungkin akan membuat mereka berpindah kepada rencana kedua jika mereka memiliknya. 

Seandainya setiap keterlambatan telah diantisipasi sebelumnya dan diakui dengan bijaksana, maka meskipun sebuah perjalanan menjadi tidak populer menurut ukuran umum, tetapi proses yang aman dan terukur serta dapat diikuti oleh setiap masing-masing pendaki, akan menghasilkan keluaran yang secara kualitas akan merata dan adil.

Lebih dari satu dasa warsa setelah tragedi Pebruari 2001 yang memakan korban, dan yang luput dari perhatian publik bahwa kami ada di depan para pendaki Mapagama dan mungkin hanya beberapa menit hingga perjumpaan yang tidak pernah terjadi, saya baru berani mengemukakan hal ini.

Saya meminta maaf kepada seluruh teman yang mendaki bersama saya pada pendakian tersebut, juga kepada kelompok pendaki jalur Baturraden karena sedikit banyak keputusan yang saya ambil saat itu turut membawa mereka pada kondisi yang tidak direncanakan.

Penulis Hariyawan Agung wahyudi, link asli ada di => m.kompasiana.com/ha.wahyudi

Kamis, 14 Mei 2015

asda

asda

iklan

 

Copyright © all with love. All rights reserved. Template by CB Blogger & Templateism.com